Benar saja, buktinya satu-satunya sarana transportasi yang bisa digunakan menuju Kecamatan Krayan hanyalah pesawat udara.
Dari Bandara Nunukan, Susi Air sudah siap membawa 11 penumpang tujuan Krayan Selasa (20/4) pagi. Sebenarnya kapasitas 12 orang, tapi seorang penumpang, batal terbang lantaran salah beli tiket. Kok bisa?
Tepat pukul 09.15 Wita, Susi Air yang dikomandani pilot asing berkepala plontos ini akhirnya mulus take off, kendati ekor pesawat sedikit agak bergoyang karena memang body-nya fleksibel dan ringan.
Dari atas ketinggian kurang lebih 1.000 meter di atas permukaan laut, saat tepat mengabadikan pulau Nunukan yang terlihat bopeng-bopeng, Pulau Sebatik, serta Seimenggaris dengan hamparan perkebunan sawit dan sedikit menyisakan kawasan hutan yang banyak dikonversikan untuk kegiatan perkebunan.
Waktu menunjukkan pukul 10.10 Wita. “Para penumpang terhormat, sebentar lagi kita akan mendarat di bandara perintis Yuvai Semaring di desa Long Bawan (ibu kota Kecamatan Krayan),” begitu kata pilot sembari perlahan menurunkan ketinggian pesawat.
Rasa deg-degan mulai menghantui, karena informasinya Bandara Yuvai berukuran 900 x 23 meter ini landasannya agak mencekung, dan tidak mulus.
Sebelum mendarat, terlihat beberapa gunung dan bukit yang tampak mengelilingi dan menaungi Desa Long Bawan dan beberapa desa lainnya. Gunung tertinggi, warga sekitar menyebutnya Gunung Paris-bukan Parisnya ibukota Perancis, disusul gunung Yuvai Semaring. Dua gunung ini saja sudah tampak indah ditambah jejeran bukit-bukit kecil lainnya. Selain karena hutannya masih terjaga baik, juga awan yang mengitari gunung Paris dan Yuvai membuat suasana di bawah naungannya terlihat lebih teduh.
Suasana pegunungan yang indah itu, sedikit mengobati kekhawatiran ketika pesawat mendarat nanti. Pintu darurat, (kebetulan saya duduk paling belakang dekat pintu masuk) saya pegang kuat-kuat. Teman baru saya seorang anggota KPUD Nunukan tampak tenang-tenang saja, maklum karena menurut pengakuannya sudah sering menyambangi Krayan, bahkan dengan pesawat bermuatan 5 orang yakni Kura-Kura Airvan, meski kali ini tugasnya hanya memastikan kondisi logistik yakni kotak suara eks pemilu presiden.
Tak lama, sedikit goncangan dug, dug, dug...... seperti itu rasanya saat ban pesawat menyentuh landasan, tapi pilot Susi Air memang berpengalaman plus pesawatnya yang cukup canggih, rasa yang tadi dug-dug sekejap hilang.
Kebetulan, saya ditemani Kepala Kementerian Agama Nunukan Drs Imam Mohtar yang juga baru kali pertamanya menginjakkan kaki ke Krayan. Kami disambut Camat Krayan Samuel ST Padan, tampak pula Muspika terlihat sumringah saat menyambut kedatangan rombongan LO dari Konsulat RI yang berkedudukan di Tawau, dengan misi melihat kondisi perbatasan Krayan-Serawak Malaysia.
Saat turun dari pesawat, selain disambut puluhan mata warga setempat, hidung ini terasa lebih segar dari biasanya, udaranya sejuk alami, wangi rerumputan dan tanah begitu terasa. Di sekeliling bandara yang terlihat hanya rimbunan pepohonan di lereng gunung, rumah-rumah warga hampir sama, tak ada yang lebih menjulang dari rumah-rumah lainnya, dan rata-rata semua terbuat dari kayu. Rumah beton hanya bisa dihitung dengan jari.
“Kecamatan ini memang masih sangat terisolir, dikelilingi hutan lebat dan betul-betul sendirian,” gumamku melihat minimnya fasilitas umum seperti listrik, jalan, dan fasilitas lainnya. Berbeda jauh dengan saudaranya Kecamatan Nunukan dan Sebatik.
Warga Krayan memang sangat ramah dan santun, buktinya hampir semua penumpang dari Nunukan mendapat sambutan hangat, salam bersalaman seperti sudah menjadi tradisi. Jika sudah berada di Long Bawan, jangan khawatir bakal tersesat, karena warga setempat dengan senang hati menunjukan arah dan tempat yang ingin dituju. Mau ke lokasi wisata, perbatasan atau sekadar melihat-lihat panorama alam di lembah gunung Paris dan Yuvai Semaring yang semakin sore semakin dingin, airnya pun sejuk seperti es batu.
Jarak antardesa di Kecamatan Krayan juga sangat jauh, dari Long Bawan menuju desa Long Midang membutuhkan waktu kurang lebih 1 jam.
Itu jika cuaca bersahabat, jika hujan, jalanan berkungan dan lumpur bisa setinggi lutut. Karena itu, tak sedikit warga setempat lebih memilih berjalan kaki dari satu kampung menuju kampung lainnya. “Jalan kaki? Kami sudah terbiasa jalan sambil membawa barang-barang bawaan, kayu, buah-buahan dan sebagainya,” kata salah seorang warga yang baru saja kembali dari hutan. (bersambung)
Sumber : Radar Tarakan (24 April 2010)
Posting Komentar
Posting Komentar