SEHARIAN berjalan kaki kurang lebih 6 kilometer (pulang pergi), dari gate menuju pos askar (tentara perbatasan Malaysia di Bakelalan-Serawak) sungguh melelahkan.
Untungnya, setelah tiba di pos Askar, saya beserta rombongan Liason Officer (LO) Konsulat RI-Tawau disambut hangat dan disuguhin menu makanan ala “camp”. Ada telur goreng, nasi goreng ikan asin-pedas pula, ditambah teh susu yang katanya diracik dengan tongkat ali-berkhasiat untuk pria.
“Masih kalah lah, nasi Adan yang diproduksi petani Krayan jauh lebih nikmat dan paling digemarin,” celetuk salah satu rombongan yang membuat saya makin penasaran tentang keunggulan beras Adan tersebut.
Sepertinya saya agak kurang beruntung, karena musim panen beras Adan telah lewat beberapa bulan lalu, namun kabarnya di penghujung tahun ini panen akan dimulai lagi.
Tak berlama-lama bersenda gurau sambil menyaksikan duel sepak bola Play Station (PS) dengan Askar Malaysia, saya dan rombongan kembali ke Long Bawan, meski di pertengahan jalan, cuaca mulai tak bersahabat, apalagi duduk di bak belakang mobil terpaksa harus sabar dengan goncangan dan hujan yang semakin deras.
Tiba di Desa Long Midang, rombongan tak langsung kembali ke desa, tapi “nyangkut” di pondok pengolahan garam gunung.
Rupanya rasa penasaran saya tentang adanya garam di gunung, juga dirasakan rombongan LO Konsulat RI-Tawau. Benar saja, dan jika ada nyanyian “asam di gunung garam di laut” wajib diubah, tak selamanya garam itu di laut. Malahan, garam di gunung ini punya khasiat tersendiri. Apa itu?
Sebelum mengetahu khasiatnya, ketua Adat Desa Long Bawan, Yagung, menceritakan asal muasal ditemukannya garam gunung di Kecamatan Krayan.
Diceritakan, pada jaman nenek moyang dulu, secara tidak sengaja menemukan titik air garam gunung saat berburu tupai.
Tupai berhasil disumpit dan jatuh ke air, saat akan direbus untuk kemudian di makan ternyata rasanya sangat asin. Usut punya usut akhirnya nenek moyang suku dayak di Krayan itu mencari tahu di lokasi tupai itu jatuh. Dan benar, titik air yang sekarang direnovasi menjadi sumur garam ternyata mengandung garam beryodium tinggi yang artinya asin.
Hingga turun temurun, sumur garam itu dikelola oleh masyarakat Kecamatan Krayan secara tradisional. “Pengelolaannya diatur secara bergiliran, 1 kepala keluarga dapat jatah 2 minggu kelola air garam, begitu seterusnya diatur dengan seadil-adilnya,” bebernya.
Levli, warga Long Midang mengaku, dalam waktu 2 minggu, ia bisa memproduksi sebanyak 200 kilo garam gunung, dengan keuntungan mencapai Rp 5 juta. Garam ini, pemasarannya sebagian besar ke Malaysia dan Brunei, dengan harga per kilonya mencapai Rp 27 ribu per kilo.
Untuk mendapatkan garam gunung dengan kualitas tinggi, memang membutuhkan keuletan, kesabaran dan kehati-hatian. Prosesnya dimulai dari mengambil air garam di sumur, kemudian dituang pada tungku pemasak awal, kemudian ditransfer ke tungku kedua, dan tungku ketiga merupakan proses salinan terkakhir yang menentukan kualitas garam gunung. Cara menuangkan, hingga filter akhir tidak boleh ada hentakan keras, akan merusak kada garam yang dihasilkan. Dari hasil yang didapat, garam gunung ini jauh lebih putih, lembut dan rasa asinnya berbeda dari garam dari laut.
Nah, untuk khasiatnya, disebutkan Yagung, berdasarkan kepercayaan masyarakat setempat, mampu mengobati penyakit gondok, memperkuat gigi dan gusi, mengobati berbagai macam penyakit kulit dan masih banyak penelitian lainnya.
”Memang belum ada peneliti yang melakukan riset di Krayan ini, tapi masyarakat membuktikan khasiat garam gunung itu,” ungkapnya.
Berdasarkan sumber lain, disebutkan, garam gunung juga mampu menetralisir bahaya racun, mencegah menjalarnya luka atau borok. Bahkan menurut pakar dan pelopor ilmu kedokteran, Ibnu Sina, berkata: garam berfungsi untuk menetralisir racun akibat sengatan kalajengking dan binantang berbisa lainnya.
Selain itu, Rasulullah SAW pernah melakukan beberapa cara dalam menerapi dirinya dengan memadukan antara garam dan ruqyah syar’iyyah antara lain dengan mengusap luka dengan air garam seraya membaca do’a. Dan metode lainnya adalah dengan mengguyur luka atau bagian tubuh yang sakit dengan air yang telah bercampur garam seraya membaca do’a. Metode yang terakhir yang pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW adalah merendam bagian yang luka dalam larutan air garam seraya membaca do’a .
Manfaat lainnya berdasarkan sumber penelitian lain yakni, menyeimbangkan tekanan darah, meningkatkan kandungan oksigen dalam tubuh, melancarkan arteri darah kita, melarutkan endapan kalsium dalam darah, menyelaraskan kelancaran sistem syaraf, membantu regenarasi sel-sel tubuh, menghilangkan radikal-radikal bebas dalam tubuh, membantu pergerakan otot-otot usus, menyeimbangkan mineral dan mensinergikan sistem metabolisme tubuh agar lebih sempurna, menyelesaikan masalah kesehatan yang berasal dari ketidak seimbangan mineral, membantu penyerapan vitamin agar lebih sempurna, menyeimbangkan faktor ph, dapat membantu dalam penyembuhan penyakit kulit, dapat mengurangi ketagihan narkoba dan rokok, serta menambah kekuatan daya seksualitas.
“Air garamnya pun bisa langsung di minum, warga setempat biasa mandi dengan air garam gunung ini,” kata Yagung.
Hanya saja, sambungnya, garam gunung ini perlu perhatian pemerintah daerah dalam membantu produksi dan hak paten. Pasalnya, produksi garam Krayan juga diakui Malaysia sebagai produknya.
“Padahal, hanya di Krayan lah yang memproduksi garam gunung, semestinya pemerintah mempatenkan ini, Malaysi selalu mengakui garam itu produksi Bakelalan-Serawak,” sesalnya.
Sepulang dari pondok produksi garam gunung, saya dan rombongan mesti pulang cepat, karena hujan sudah mulai reda, dan hari semakin sore.
Penginapan Yagung Raya tempat kami menginap telah menyiapkan hidangan makan malam, ikan bakar, ayam penyet dan tempe, dan pastinya nasi Adan yang harum itu.
Beras Adan, ini kata Yagung, ternyata terkenal hingga Brunei, bahkan sudah jadi langganan masyarakat dan kerajaan Brunei. “Jangan sampai, beras Adan ini pula kembali diakui Malaysia, karena sampai saat ini belum ada kemasan, sementara malahan Malaysia yang membuat kemasannya. Kita berharap, pemerintah segera berbuat, punya gaung dan semangat untuk melakukan, jangan hanya program saja,” lengkapnya. “Ya juga sih, capek-capek petani Indonesia yang menanam, tapi yang terkenal, yang mendapatkan nama justru Malaysia, Indonesia kemana ya,” tuturku dalam hati. (***)
Sumber : RadarTarakan (27 April 2010)
Posting Komentar
Posting Komentar