Asyiknya Menjadi Guru di Pedalaman Borneo: Gaji Kecil Tidak Masalah!

Asyiknya Menjadi Guru di Pedalaman Borneo: Gaji Kecil Tidak Masalah!

Guru Lein: Tetap Aktif di Luar Jam Sekolah untuk Pengabdian Masyarakat di Masa Menjelang Pensiun

Ketika tidak mengenakan pakaian seragam guru, orang pasti akan tertipu dengan penampilannya. Di luar jam sekolah ia pasti selalu mengenakan celana pendek, bersandal jepit, dan berkaos oblong lusuh. Tidak ada yang istimewa dari penampilan fisiknya. Tetapi jangan ditanya keluasan dan kedalaman hatinya.

Dialah Pak Lein, seorang guru SD, tamatan SPG zaman jadul. Pria asal Solor, salah satu kepulauan kecil di Flores. Ia meninggalkan kampung halamannya pada 1979, ketika ada program perekrutan guru di luar KALBAR untuk mengabdi di daerah pedalaman Borneo. Bersama dengan 120 orang rekan seangkatan, mereka berangkat meninggalkan Nusa Bunga menuju Pontianak medio Mei 1979. Setiba di Pontianak, mereka mendapatkan pendidikan singkat tentang antropologi dan budaya masyarakat Dayak pedalaman selama beberapa hari. Setelah diberi bekal singkat, dengan menggunakan motor air (Motor Bandung, bermesin diesel) mereka diberangkatkan secara resmi oleh Kepala Dinas Pendidikan Propinsi menuju tempat tugas masing-masing di berbagai Kabupaten. Sungai menjadi satu-satunya jalur transportasi menuju daerah pedalaman Borneo pada saat itu.

Berminggu-minggu mereka menyusuri Sungai Kapuas dan masing-masing diturunkan di tepian perkampungan seturut SK penugasan. Dari Pontianak menuju Sintang, yang tersisa dari guru-guru muda penuh idealisme  10 orang. Sepuluh orang Guru muda yang tersisa ini harus melanjutkan perjalanan menuju Kabupaten terudik di Kalimantan Barat pada saat itu yakni Kabupaten Kapuas Hulu.

Tibalah Pak Lein di tempat tugasnya. Ia diturunkan malam hari di tepian Sungai Kapuas bersama beras gaji pertama sebanyak 1 goni 10 kg. Orang baru, tidak pandai berenang, tanpa senjata dan harus menempuh perjalanan di malam hari memasuki rimba yang masih perawan menuju perkampungan di mana ia ditugaskan. Ia harus menempuh perjalanan kaki 5 Km dari tepian Sungai menuju Kampung Bunut yang dimaksud. Tanpa pemandu jalan dan hanya bermodalkan petunjuk Sang Motoris Motor Bandung untuk mengikuti jalan setapak yang paling ramai dilalui, ia pun nekat menempuh perjalanan di malam hari ke perkampungan yang dituju.

Sebagai orang baru di jagad Borneo, rasa takut dan cemas juga menggerogotinya: ancaman diserang binatang buas, ular berbisa, lumpur yang dalam, bergelayut di sanubarinya. Namun satu hal yang menguatkan keyakinannya adalah jika Tuhan memang memanggil dan mengutusnya untuk menjadi pengajar di tengah orang Dayak pedalaman, Tuhan pasti akan menemani perjalanan-Nya, Ia tidak akan membiarkannya berjalan sendirian menantang bahaya. Bermodalkan keyakinan itu, di bawah terang lampu senter kaleng zaman jadul, ia tiba juga di perkampungan pada pagi harinya.

Sambutan dingin diterimanya dari warga kampung  yang kebetulan berpapasan di jalan menuju sungai, ketika ia mencoba membuka percakapan dengan menyapa "selamat pagi" kepada mereka. Namun, semuanya tidak menyurutkan langkahnya. Ia terus menuju kampung dan menaiki rumah betang, mencari kepala suku. Berbeda dengan warganya, Kepala Suku sangat ramah menyambut kedatangannya, setelah ia memperkenalkan dirinya sebagai guru yang ditugaskan untuk mengajar di kampung mereka. Kepala Suku meminta maaf atas apa yang dialaminya di jalan dan juga atas ketidaksiapan mereka menjemputnya di tepian sungai. Dari penjelasan kepala suku, Pak Lein muda baru memahami bahwa bukan sikap dingin yang diterimanya di jalan, tetapi sikap malu karena berjumpa dengan orang baru yang berbeda dengan mereka (hitam dan keriting). Selain itu, rupanya kedatangannya lebih cepat dari yang dijadwalkan dan diberitahukan oleh orang pemerintahan di Kabupaten, sehingga tidak ada warga yang menanti dan memandunya di tepi sungai malam itu menuju kampung.

Keesokkan harinya, kepala suku mengumpulkan semua warga untuk menyempurnakan rumah guru. Gedung sekolah terdiri atas 3 ruangan (lokal) untuk kelas 1-3. Rencananya Pak Lein akan mengajar dari kelas satu sampai kelas 3 di kampung ini sedangkan kelas 4-6 dilanjutkan di kampung tetangga (pusat desa) dengan jarak tempuh 10 Km.

Sebagai guru baru, seorang diri, ia harus memulai proses belajar-mengajar. Murid-muridnya ada yang sudah berusia 10-16 tahun. Intinya yang masih mau sekolah diajaknya untuk menetap di kampung. Ternyata bukan perkara mudah memulai segala sesuatu sendirian apalagi di usia yang relatif masih muda, tanpa pengalaman mengajar sebelumnya. Tetapi, semangatnya tidak pernah surut. Baginya, pertama-tama yang harus dilakukan adalah mempelajari bahasa daerah setempat agar komunikasi dari hati ke hati dengan penduduk menjadi lebih mantap. Tekadnya, pertama-tama harus memenangkan hati mereka dengan menguasai bahasa mereka, kebiasaan dan pola hidup mereka, adat-istiadat mereka. Dalam waktu 3 bulan ia telah menguasai bahasa setempat dan diterima resmi sebagai orang Dayak. Di sini, Pak Lein merasa bahwa kunci segalanya adalah bahasa. "Dengan menguasai bahasa setempat, saya bisa menjelaskan betapa pentingnya pendidikan dan sekolah bagi orang-orang tua agar mau mengizinkan anak-anak mereka untuk sekolah. Saya juga bisa menjelaskan aneka pelajaran dengan baik kepada anak-anak didik saya, karena tidak ada satu pun dari mereka yang mengerti bahasa Indonesia," tuturnya.

Ketika memasuki tahun ajaran yang kedua, ia baru bisa mendapatkan seorang rekan guru bujangan juga. Kini sudah berdua, mereka mulai bisa melakukan banyak hal di kampung itu. Sebagai guru, mereka sepertinya dianggap tahu segalanya: mengerti soal obat-obatan, mengerti soal agama, mengerti soal pemerintahan, dll. Singkatnya, kedua guru muda ini menjadi sumber refrensi utama bagi masyarakat kampung selain kepala suku. Dengan demikian, tugas mereka sebagai guru bukan hanya terlibat dalam pencerahan bagi murid di sekolah, tetapi juga harus mencerahkan masyarakat sekitarnya yang menaruh harapan lebih kepada mereka.

Bersambung..........

Sumber : https://www.kompasiana.com/fajarbaru/550ab055a333119d712e3a5b/bagian-i-asyiknya-menjadi-guru-di-pedalaman-borneo-gaji-kecil-tidak-masalah (9 Desember 2011   07:02 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:38)
SHARE WhatsApp

Borneo Terkait

Posting Komentar